Minggu, 17 Mei 2009

bank syariah

BANK SYARIAH SEBAGAI LEMBAGA KEUANGAN YANG MENGACU PADA SYARIAT ISLAM

a. Tujuan, Sistem, Prinsip, Piranti Keuangan Bank Syariah
Pada dasarnya operasi Bank Syariah (Bank Islam) tidak jauh berbeda dengan bank konvensional (bank komersil/umum) yaitu sebagai lembaga perantara. Bank Syariah berperan sebagai lembaga perantara antara satuan-satuan kelompok masyarakat atau unit-unit ekonomi yang mengalami kelebihan dana dengan unit-unit lain yang mengalami kekurangan dana. Melalui bank kelebihan dana tersebut dapat disalurkan kepada pihak yang memerlukan dan memberikan manfaat kepada kedua belah pihak.
Bank berbasis bunga melaksanakan peran tersebut melalui kegiatannya sebagai peminjam dan pemberi pinjaman. Para pemilik dana tertarik untuk menyimpan dana di bank berdasarkan tingkat bunga yang dijanjikan. Demikian pula bank memberikan pinjaman kepada pihak-pihak yang memerlukan dana berdasarkan kemampuan mereka membayar tingkat bunga tertentu. Hubungan antara bank dengan nasabahnya adalah hubungan antara kreditur dengan debitur.
Berbeda dengan bank konvensional, hubungan antara bank syariah dengan nasabahnya bukan hubungan antara debitur dengan kreditur, melainkan hubungan kemitraan penyandang dana dengan pengelola dana. Oleh karena itu, tingkat laba bank syariah bukan saja berpengaruh terhadap tingkat bagi hasil untuk para pemegang saham, tetapi juga berpengaruh terhadap bagi hasil yang dapat diberikan kepada nasabah penyimpan dana. Dengan demikian kemampuan manajemen untuk melaksanakan fungsinya sebagai penyimpan harta, pengusaha dan pengelola investasi yang baik akan sangat menentukan kualitas usahanya sebagai lembaga perantara dan kemampuannya menghasilkan laba.
Adapun prinsip-prinsip pokok yang menyebabkan antara bank umum dan syariah tidak sama adalah bahwa pemasukan bank syariah tidak berasal dari selisih tingkat bunga dari pembiayaan (kredit) yang disalurkan. Namun pemasukan itu tergantung dari usaha peminjaman (debitur).
Aktivitas keuangan dan perbankan dapat dipandang sebagai wahana bagi masyarakat modern untuk membawa mereka kepada, paling tidak, pelaksanaan dua ajaran Al Qur’an yaitu:
• Prinsip At Ta’awun, yaitu saling membantu dan saling bekerja sama di antara anggota masyarakat untuk kebaikan, sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an :

“….dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan ketaqwaan, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…” (QS 5:2).

• Prinsip menghindari Al Iktinaz, yaitu menahan uang (dana) dan membiarkannya menganggur yang tidak berputar dalam transaksi yang bermanfaat bagi masyarakat umum, sebagaimana yang dinyatakan dalam Al Qur’an:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu…” (QS 4:29).
Perbedaan pokok antara perbankan islam dengan perbankan konvensial adalah adanya larangan riba (bunga) bagi perbankan islam. Bagi islam riba dilarang, sedang jual beli (al bai’) dihalalkan.
Sejak awal dasarwarsa 1970-an, umat islam di berbagai negara telah berusaha untuk mendirikan bank islam. Tujuannya, pada umumnya, adalah untuk mempromosikan dan mengembangkan penerapan prinsip-prinsip syariat islam dan tradisinya kedalam transaksi keuangan dan perbankan serta bisnis lain yang terkait. Prinsip utama yang dianut oleh bank islam adalah:
• Larangan riba (bunga) dalam berbagai bentuk transaksi
• Menjalankan bisnis dan aktivitas perdagangan yang berbasis pada perolehan keuntungan yang sah menurut syariat dan memberikan zakat.
Islam memiliki hukum sendiri untuk memenuhi kebutuhan manusia untuk mendanai kegiatannya, yaitu melalui akad-akad bagi hasil, sebagai metode pemenuhan kebutuhan permodalan, dan akad-akad jual beli untuk memenuhi pembiayaan. Bank islam tidak menggunakan metode pinjam-meminjam uang dalam rangka kegiatan komersial karena setiap pinjam-meminjam uang yang dilakukan dengan persyaratan atau janji pemberian imbalan adalah termasuk riba. Oleh karena itu mekanisme operasional perbankan syariah dijalankan dengan menggunakan dengan piranti-piranti keuangan yang mendasarkan pada prinsip-prinsip berikut ini:
Prinsip bagi hasil:
1. Mudharabah
Yaitu bank memberikan modal, para nasabah bank memberikan keahlian mereka, sedangkan keuntungan dibagi menurut rasio yang disetujui.

Ada dua tipe mudharabah, yaitu mutlaqah (tidak terikat) dan muqayyadah (terikat).

• Mudharabah mutlaqah: pemilik dana memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola untuk menggunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan pengelola bertanggung jawab untuk mengelola usaha sesuai dengan praktek kebiasaan usaha normal yang sehat (uruf).
• Mudharabah muqayyadah: pemilik dana menentukan syarat dan pembatasan kepada pengelola dalam penggunaan dana tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha dan sebagainya. Pengelola menggunakan modal tersebut dengan tujuan yang dinyatakan secara khusus, yaitu untuk menghasilkan keuntungan.

2. Murabahah

Dengan operasi murabahah, para klien bank membeli satu komoditi menurut rincian tertentu dan menghendaki agar bank mengirimkannya pada mereka berdasarkan imbuhan harga teretentu menurut persetujuan mula antara kedua pihak.
3. Musharakah
Dengan musyarakah, baik bank maupun klien menjadi mitra usaha dengan menyumbang modal dalam berbagai tingkatan dan mencapai kata sepakat atas rasio laba dimuka untuk sesuatu waktu tertentu.
b. Prinsip Jual Beli (Al Bai’)
Pengertian jual beli meliputi berbagai akad pertukaran antara suatu barang dan jasa dalam jumlah tertentu atas barang dan jasa lainnya. Penyerahan jumlah atau harga barang dan jasa tersebut dapat dilakukan dengan segera ataupun secara tangguh. Oleh karenanya, untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan syarat-syarat Al Bai’ menyangkut berbagai tipe jual beli tangguh.
Akad berarti perikatan, perjanjian atau permufakatan. Setiap akad harus memenuhi unsur-unsur pokok (rukun akad), yaitu:
• Sighat (ijab qabul): ijab berarti pernyataan melakukan ikatan dan qabul berarti pernyataan menerima ikatan.
• Muta’aqidaani yaitu pihak-pihak yang berakad

• Ma’qud fiih (obyek akad).

Sebelum terjadi ikatan, masing-masing pihak boleh mengajukan syarat-syarat asalkan dapat diterima oleh akal sehat. Akad yang shahih (cukup rukun dan syaratnya) berlaku dan mengikat, sebaliknya akad yang tidak shahih (kekurangan rukun dan syaratnya) tidak berlaku dan tidak mengikat.
c. Macam-Macam Jual Beli
Dalam fiqh muamalah, telah diidentifikasi dam diuraikan macam-macam jual beli, termasuk jenis jual beli yang dilarang umat islam. Macam atau jenis jual beli itu antara lain:
1. Bai’ al mutlaqah yaitu pertukaran barang atau jasa dengan uang. Uang berperan sebagai alat tukar. Jual beli semacam ini menjiwai semua produk-produk lembaga keuangan yang didasarkan atas prinsip jual beli.
2. Bai’ al muqayyadah yaitu jual beli dimana pertukaran terjadi antara barang dengan barang (barter). Aplikasi jual beli semacam ini dapat dilakukan sebagai jaln keluar bagi transaksi eksport yang tidak dapat menghasilkan valuta asing (devisa). Karena itu dilakukan pertukaran barang dengan barang yang dinilai dalam valuta asing. Transaksi semacam ini lazim disebut counter trade.
3. Bai’ al sharf yaitu jual beli atau pertukaran antara satu mata uang asing dengan mata uang asing lain, seperti antara rupiah denga dolar, dolar dengan yen dan sebagaimya. Mata uang asing yang diperjual belikan itu dapat berupa uang kartal (bank notes) atau berupa uang giral (telegrafic transfer atau mail transfer).
4. Bai’ al murabahah adalah akad jual beli barang tertentu dalam transaksi jual beli tersebut penjual menyebutkan dengan jelas barang yang diperjual belikan, ternasuk harga pembelian dan keuntungan yang diambil.

5. Bai’ al musawamah adalah jual beli biasa, dimana penjual tidak memberi tahukan harga pokok dan keuntungan yang didapatnya.

6. Bai’ al muwadha’ah yaitu jual beli dimana penjual melakukan penjualan dengan harga yang lebih rendah daripada harga pasar atau dengan potongan (discount). Penjualan semacam ini biasanya hanya dilakukan untuk barang-narang atau aktifa tetap yang nilai bukunya sudah sangat rendah.
7. Bai’ as salam adalah akad jual beli dimana pembeli membayar uang (sebesar harga) atas barang yang telah disebutkan spesifikasinya, sedangkan barang yang diperjual belikan itu akan diserahkan kemudian, yaitu pada tanggal yang disepakati. Bai’ as salam biasanya dilakukan untuk produk-produk pertanian jangka pendek.
8. Bai’ al istishna’ hampir sama dengan bai’ as salam yaitu kontrak jual beli dimana harga atas barang tersebut dibayar lebih dulu tetapi dapat diangsur sesuai dengan jadwal dan syarat-syarat yang disepakati bersama, sedangkan barang yang dibeli diproduksi dan diserahkan kemudian.

Diantara jenis-jenis jual beli tersebut, yang lazim digunakan sebagai modal pembiayaan syariah adalah pembiayaan berdasarkan prinsip bai al murabahah, bai’ as salam dan bai’ al istishna’.

d. Prinsip Sewa dan Sewa-Beli

Sewa (ijarah) dan sewa-beli (ijarah wa iqtina’ atau disebut juga ijarah muntahiyah bi tamlik) oleh para ulama dianggap sebagai model pembiayaan yang dibenarkan oleh syariah islam. Al ijarah atau sewa adalah kontrak yang melibatkan suatu barang (sebagai harga) dengan jasa atau manfaat atas barang lainnya. Prinsip sewa dan sewa beli adalah sebagai berikut:
• Prinsip qard
Qard adalah meminjamkan harta kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan. Dalam literatur fiqih, qard dikategorikan sebagai akad tathawwu’, yaitu akad saling membantu dan bukan transaksi komersial.
Bank juga dapat menggunakan akad ini sebagai produk pelengkap untuk memfasilitasi nasabah yang membutuhkan dana talangan segera untuk jangka waktu yang sangat pendek.
• Prinsip al wadi’ah
Wadi’ah menurut bahasa adalah sesuatu yang diletakkan pada yang bukan pemiliknya untuk dijaga. Dengan demikian maka pengertian istilah wadi’ah adalah akad antara pemilik barang (mudi’) dengan penerima titipan (wadi’) untuk menjaga harta/modal (ida’) dari kerusakan atau kerugian dan untuk keamanan harta. Ada dua tipe wadi’ah, yaitu:
1. Wadi’ah yad amanah
Adalah akad titipan dimana penerima titipan adalah penerima kepercayaan, artinya ia tidak harus mengganti segala resiko kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada asset titipan, kecuali bila hal itu terjadi karena akibat kelalaian yang atau kecerobohan yang bersangkutan atau bila status titipan telah berubah menjadi wadi’ah yad dhamanah.
2. Wadi’ah yad dhamanah
Adalah akad titipan dimana penerima titipan adalah penerima kepercayaan sekaligus penjamin keamanan asset yang dititipkan. Penerima simpanan bertanggung jawab penuh atas segala kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada asset titipan tersebut.
e. Penggunaan Dana Bank Syariah
Alokasi penggunaan dana bank syariah pada dasarnya dapat dibagi dalam dua bagian penting dari aktifa bank yaitu:
1. Aktifa yang menghasilkan
2. Aktifa yang tidak menghasilkan
Aktifa yang menghasilkan adalah berupa infestasi dalam bentuk:
• pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil
• Pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan
• Pembiayaan berdasarkan prinsip jual beli
• Penbiayaan berdasarkan prinsip sewa
Surat-surat berharga syariah dan infestasi lainnya
• Aktifa yang tidak menghasilkan terdiri dari:
• Aktifa dalam bentuk tunai
Aktifa dalam bentuk tunai terdiri dari uang tunai dalam vault, cadangan likuiditas yang harus dipelihara pada bank central, giro pada bank dan barang-barang tunai lainnya yang masih dalam proses penagihan.
Qard (pinjaman)
Pinjaman Qard al hasan adalah salah satu kegiatan bank syariah dalam mewujudkan tanggung jawab sosialnya sesuai dengan ajaran islam. Untuk kegiatan ini bank tidak memperoleh penghasilan karena bank dilarang untuk meminta imbalan apapun dari para penerima qard
Penanaman dana dalam aktiva tetap dan inventaris
Penanaman dana dalam bentuk ini juga tidak menghasilkan pendapatan bagi bank, tetapi merupakan kebutuhan bank untuk memfasilitasi pelaksanaan fungsi kegiatannya. Fasilitas ini terdiri dari bangunan gedung, kendaraan, dan peralatan lainnya yang dipakai oleh bank dalam rangka penyediaan layanan kepada nasabahnya.
Jadi sumber pendapatan bank syariah terdiri dari :
• Bagi hasil atas kontrak mudharabah dan kontrak musyarakah
• Keuntungan atas kontrak jual beli
• Hasil sewa atas kontrak ijarah dan ijarah wa iqtina, dan
• Fee dan biaya administrasi atas jasa-jasa lainnya
f. Sumber-Sumber Sana Bank Syariah
Pertumbuhan setiap bank sangat dipengaruhi oleh perkembangan kemampuannya menghimpun dana masyarakat, baik berskala kecil maupun besar dengan masa pengendapan yang memadai. Sebagai lembaga keuangan, masalah bank yang paling utama adalah dana. Tanpa dana yang cukup, bank tidak dapat berbuat apa-apa, atau dengan kata lain bank menjadi tidak berfungsi sama sekali.
Dana adalah uang tunai yang dimiliki atau dikuasai oleh bank dalam bentuk tunai, atau aktiva lain yang dapat segera diubah menjadi uang tunai. Uang tunai yang dimiliki atau dikuasai oleh bank tidak hanya berasal dari pemilik bank itu sendiri, tapi berasal dari titipan atau penyertaan dana orang lain atau pihak lain yang sewaktu-waktu atau pada satu saat tertentu akan ditarik kembali, baik sekaligus ataupun secara berangsur-angsur.
Sumber dana bank syariah terdiri dari:
1. Modal inti
Adalah dana modal sendiri, yaitu dana yang berasal dari para pemegang saham bank, yakni pemilik bank. Modal inti terdiri dari:
• Modal yang disetor oleh para pemegang saham, hal ini dikarenakan sumber utama dari modal perusahaan adalah saham.
• Cadangan, yaitu sebagian laba bank yang tidak dibagi, yang disisihkan untuk menutup timbulnya resiko kerugian dikemudian hari.
• Laba ditahan, yaitu sebagian laba yang seharusnya dibagikan kepada para pemegang saham, tetapi oleh para pemegang saham sendiri (melalui rapat umum pemegang saham) diputuskan untuk ditanam kembali dalam bank.
2. Quasi ekuitas (mudharabah account)
Bank menghimpun dana bagi hasil atas dasar prinsip mudharabah, yaitu akad kerja sama antara pemilik dana dengan pengusaha untuk melakukan suatu usaha bersama, dan pemilik dana tidak boleh mencampuri pengelolaan bisnis sehari-hari. Keuntungan yang diperoleh dibagi antar keduanya dengan perbandingan yang telah disepakati sebelumnya. Kerugian finansial menjadi beban pemilik dana, sedangkan pengelola tidak memperoleh imbalan atas usaha yang dilakukan.
Berdasarkan prinsip ini, dalam kedudukannya sebagai pengusaha, bank menyediakan jasa bagi para investor berupa:

• Rekening investasi umum
• Rekening investasi khusus
• Rekening tabungan mudharabah

3. Titipan (wadi’ah) atau simpanan tanpa imbalan
Dana titipan adalah dana pihak ketiga yang dititipkan pada bank, yang umumnya berupa giro atau tabungan. Motivasi utama orang menitipkan dana pada bank adalah untuk keamanan dana mereka dan memperoleh keleluasaan untuk menarik kembali dananya sewaktu-waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Mengenai Saya

Foto saya
aku seorang ibu dengan 3 anak yang cakep dan lucu, Mas Amer, Mbak Amanina dan dik Azzam. Merekalah Obor kehidupanku, agar aku senantiasa meniti kehidupan dengan hati-hati dan penuh keikhlasan, kesabaran dan menjadi ibu serta istri sholihah. Suamiku seorang ustadz di SDIT ABU BAKAR ASH SHIDIQ PATI, semoga Alloh senantiasa memberkahi kehidupan kami dan menjadi keluarga yang sakinah dunia akhirat amin
 
footer